Rabu, 05 Januari 2011

Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat


Sebelumnya, artikel atau makalah tentang pembahasan sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat mungkin sudah banyak dibahas dalam web atau situs lain, tapi apa salahnya jikalau bahasan mengenai sistem ekonomi islam di ulas lagi dalam blog ini sebagai pelengkap dalam masalah-masalah ekonomi, baik yang sudah ataupun postingan2 yang akan datang dalam situs kumpulan ilmu dan wacana pendidikan ini. thx
Pengertian Sistem Ekonomi Islam

Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”.
Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw: “Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi)
Tujuan Ekonomi Islam
adapun tujuan Ekonomi Islam berpedoman pada: Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
  1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
  2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
  3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa masalah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
  • keselamatan keyakinan agama ( al din)
  • kesalamatan jiwa (al nafs)
  • keselamatan akal (al aql)
  • keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
  • keselamatan harta benda (al mal)
Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
  1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
  2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
  3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
  4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
  5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
  6. Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
  7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
  8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.
Banyak pihak beranggapan mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat sebagai manusia yang saling bersaudara dan sama-sama diciptakan oleh satu Tuhan, saat ini, hanyalah sebuah impian. Hal itu terjadi karena adanya penolakan menggunakan mekanisme filter yang disediakan oleh penilaian berbasis moral, di samping makin melemahnya perasaan sosial yang diserukan agama.
Peningkatan moral dan solidaritas sosial tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya kesakralan moral yang diberikan oleh agama. Para ahli mengakui, bahwa agama-agama cenderung memperkuat rasa kewajiban sosial dalam diri pemeluknya daripada menghancurkan. Sepanjang sejarah umat manusia tidak ditemukan contoh signifikan yang menunjukkan, bahwa suatu masyarakat yang berhasil memelihara kehidupan moral tanpa bantuanagama. 
Ajaran ekonomi yang dilandaskan nilai-nilai agama akan menjadikan tujuan kesejahteraan kehidupan yang meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju kepada Tuhannya. Menurut Yusuf Qardhawi (1994), sesungguhnya manusia jika kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya telah terpenuhi serta merta merasa aman terhadap diri dan rezekinya, maka mereka akan hidup dengan penuh ketenangan, beribadah dengan khusyu’ kepada Tuhannya yang telah memberi mereka makan, sehingga terbebas dari kelaparan dan memberi keamanan kepada mereka dari rasa takut. Dibutuhkan sebuah kesadaran, bahwa manusia diciptakan bukan untuk keperluan ekonomi, tetapi sebaliknya masalah ekonomi yang diciptakan untuk kepentingan manusia.
Islam, sebagai ajaran universal, sesungguhnya ingin mendirikan suatu pasar yang manusiawi, di mana orang yang besar mengasihi orang kecil, orang yang kuat membimbing yang lemah, orang yang bodoh belajar dari yang pintar, dan orang-orang bebas menegur orang yang nakal dan zalim sebagaimana nilai-nilai utama yang diberikan Allah kepada umat manusia berdasarkan Al Qur’an Surah al-Anbiyaa ayat 107. Berbeda dengan pasar yang Islami, menurut Qardhawi (1994), pasar yang berada di bawah naungan peradaban materialisme mencerminkan sebuah miniatur hutan rimba, di mana orang yang kuat memangsa yang lemah, orang yang besar menginjak-injak yang kecil. Orang yang bisa bertahan dan menang hanyalah orang yang paling kuat dan kejam, bukan orang yang paling baik dan ideal. Dengan demikian sulit membayangkan bahwa kesejahteraan akan dapat diperoleh dari sistem pasar dalam peradaban materialisme.
Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan harus ada suatu sistem pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga memenuhi kebutuhannnya sendiri dengan kebebasan penuh untuk melakukan pilihan pribadinya. Pasar yang sehat menggalakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas pribadi, dan upaya-upaya yang produktif (Korten, 2002).
Pasar yang sehat sangat tergantung pada kesadaran para pesertanya, sehingga harus ada persyaratan agar masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang yang tidak menghormati hak dan kebutuhan orang lain, serta mengekang secara sukarela dorongan pribadi mereka untuk melampaui batas. Apabila tidak ada suatu budaya etika dan aturan-aturan publik yang memadai, maka pasar gampang sekali dirusak. Pasar yang sehat, tidak berfungsi dengan paham individualisme ekstrem dan kerakusan kapitalisme yang semena-mena, dan juga tidak berfungsi lewat penindasan oleh hierarki dan yang tidak mementingkan diri sama sekali, seperti dalam komunisme. Kedua faham tersebut merupakan penyakit yang amat parah.
Kesejahteraan dalam pembangunan sosial ekonomi, tidak dapat didefinisikan hanya berdasarkan konsep materialis dan hedonis, tetapi juga memasukkan tujuan-tujuan kemanusiaan dan keruhanian. Tujuan-tujuan tersebut tidak hanya mencakup masalah kesejahteraan ekonomi, melainkan juga mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu, kehormatan harta, kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat.
Ajaran Islam, sama sekali, tidak pernah melupakan unsur materi dalam kehidupan dunia. Materi penting bagi kemakmuran, kemajuan umat manusia, realisasi kehidupan yang baik bagi setiap manuisa, dan membantu manusia melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan.
Namun demikian, walaupun kehidupan ekonomi yang baik merupakan tujuan Islam yang dicita-citakan, bukan merupakan tujuan akhir. Kehidupan ekonomi yang baik, pada hakikatnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih jauh. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat esensial antara ajaran Islam dengan faham materialisme yang dianut oleh kaum Komunis ataupun para Sekuleristik.
Menurut Qardhawi, ideologi-ideologi materialisme bertumbuh kepada pemenuhan nafsu yang tidak terlepas dari ruang lingkup kepentingan ekonomi yang rendah. Kesenangan materi menjadi tujuan akhir dan merupakan surga yang dicita-citakan. Berbeda dengan ekonomi yang dilandasi moral agama, kesejahteraan kehidupan menjadikan tujuan untuk meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju Tuhannya. Materi digunakan untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik dan lebih kekal.
Ajaran Islam mengakui kebebasan pemilikan. Hak milik pribadi menjadi landasan pembangunan ekonomi, namun harus diperoleh dengan jalan yang telah ditentukan oleh Allah. Pemilikan harus melalui jalan halal yang telah disyariahkan. Demikian pula mengembangkan kepemilikan harus dengan cara-cara yang dihalalkan dan tidak dilarang oleh syariah. Islam melarang pemilik harta menggunakan kepemilikannya untuk membuat kerusakan di muka bumi atau melakukan sesuatu yang membahayakan manusia. Di samping itu dilarang pula mengembangkan kepemilikan dengan cara merusak nilai dan moral (akhlak), misalnya dengan menjual-belikan benda-benda yang diharamkan dan segala yang merusak kesehatan manusia baik akal, agama maupun akhlaknya. Dengan demikian, sebuah pasar yang sehat berlandaskan nilai-nilai moralitas keagamaan sangat diperlukan dalam sebuah sistem distribusi kepemilikan.

1 komentar: