Sabtu, 08 Januari 2011

Filantropi Islam Berbasis Pemberdayaan Komunitas


Oleh: Sholehudin A. Aziz, MA

Diskursus mengenai peran filantropi Islam (kedermawanan dalam Islam) kian hari semakin menarik untuk dikaji. Lebih lagi, di saat krisis ekonomi global yang terus menghantui perekonomian nasional kita. Apalagi, stagnasi atau bahkan bertambahnya jumlah angka kemiskinan dari tahun ketahun menunjukkan ketidakmampuan negara mensejahterakan rakyatnya.
Lebih lagi, terpaan krisis ekonomi yang ditandai naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok, dan tidak berimbangnya jumlah pendapatan dengan pengeluaran yang seharusnya, menjadikan masyarakat semakin sengsara dan terjepit. Akhirnya kadangkala tak peduli nyawa sebagai taruhannya, mereka tetap berjuang demi sesuap nasi hari ini. Pada kondisi seperti ini, seharusnya negaralah yang paling bertanggungjawab.
Namun kita memahami sepenuhnya kemampuan negara ini. Belum lagi kompleksitas persoalan yang mengitarinya. Pada intinya, negara telah gagal membawa warganya terbebas dari kemiskinan yang permanen. Di titik inilah, negara sangat membutuhkan ”aktor” lain yang bisa membantunya. Disinilah peran vital filantropi Islam dibutuhkan.
Beberapa pihak menilai bahwa krisis ekonomi Indonesia telah banyak menjadikan warganya ”kaum pengemis” di negeri sendiri. Tudingan ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya jumlah angka kemiskinan dan pengangguran sebagai akibat ketidakmampuan pemerintah dalam menangani negeri gemah ripah loh jinawi ini. Jeritan dan ratapan derita rakyat kecil tak pernah menyentuh hati nurani para pemimpin untuk terus memperbaiki nasib mereka. Belum lagi, spiral krisis kini semakin tak berujung dan belum ada titik terang untuk keluar darinya.
Keterpurukan ini dilengkapi lagi dengan keserakahan, dimana semakin banyak orang-orang yang mendapatkan harta dari cara-cara tak halal dan menghalalkan segala cara. Meluasnya tindak kejahatan korupsi tanpa mempertimbangkan dan berempati pada akibat yang ditimbulkannya. Dan akhirnya krisis ini menjadi semakin kompleks. Dalam situasi inilah filantropi, lagi-lagi bisa mengambil peran yang cukup signifikan.
Di Indonesia, praktek filantropi Islam telah berakar kuat dalam tradisi masyarakat Indonesia yakni dalam bentuk zakat, infaq, dan sedekah. Apalagi dengan situasi krisis moneter yang sampai kini masih terasa dan berbagai bencana alam yang datang silih berganti telah menggairahkan dunia filantropi di Indonesia. Aktifitas lembaga-lembaga sosial marak luar biasa, aliran bantuan uang dan barang pun tercatat mencapai triliunan rupiah. Khusus untuk filantropi Islam, lembaga-lembaga Filantropi Islam selama hampir tiga dekade terakhir, hadir untuk menjawab masalah kemiskinan. Namun demikian, hanya sedikit yang mencoba mengatasi masalah ini dari akarnya.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh CSRC UIN Jakarta, dana filantropi yang disumbangkan oleh masyarakat Muslim Indonesia mencapai angka 19,3 Trilyun/tahun. Namun, dana itu ternyata tidak mampu digunakan untuk mengentaskan kemiskinan. Alih-alih, justru menciptakan ketergantungan dan melestarikan kemiskinan itu sendiri. Bahkan asset wakaf yang bernilai 590 trilyun ternyata 80% hanya digunakan untuk masjid dan pekuburan.
Akar masalahnya ada dua. Pertama, pemahaman masyarakat terhadap filantropi masih tradisional dan berorientasi karitatif. Penelitian CSRC telah mengkonfirmasi bahwa 90% lebih dana zakat dan sedekah dberikan secara langsung kepada penerima (mustahik). Dimana sebagian besar diperuntukkan bagi tujuan-tujuan konsumtif dan berjangka pendek.
Kedua, lembaga filantropi yang ada (Lembaga Amil Zakat atau LAZ/Badan Amil Zakat atau BAZ) tidak bersinergi dengan baik dan kurang menekankan pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan berkelanjutan. Kita bisa bayangkan jika seluruh lembaga filantropi di tanah air ini bersatu dan bersinergi dalam bentuk program pengumpulan dan penyaluran dengan menetapkan skala prioritas bersama. Sungguh akan prestisius dan menakjubkan dampak yang akan diterima masyarakat.
Praktek filantropi islam seperti ini, selain karena faktor sosio-ekonomi, dimana banyak masyarakat yang tidak mampu di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, juga karena memiliki dasar dalam ajaran agama yang menekankan pentingnya memberi sumbangan kepada kerabat dekat terlebih dahulu. Hal ini mengakibatkan upaya mempromosikan lembaga-lembaga perantara seperti lembaga amil zakat permanen, belum mendapat  sambutan dan kepercayaan luas dari masyarakat.
Namun demikian, Dalam kurun waktu dua dekade belakangan ini, aktifitas Filantropi islam di Indonesia patut dibanggakan karena mengalami perkembangan yang signifikan. Perkembangan ini ditandai dengan beberapa hal:
Pertama, meningkatnya antusiasme ummat dalam berfilantropi. Indikator utamanya adalah lahirnya sejumlah organisasi filantropi, bila dulu kita hanya mengenal Badan Amil Zakat, kini aktivitas itu menajdi terstruktur dalam banyak lembaga intermediari baru yang profesional. Misal Dompet Dhuafa (DD), Pos Keadilan peduli Umat (PKPU), Rumah Zakat, Tabung Wakaf, dan sebagainya.
Kedua, indikasi filantropisasi juga tampak jelas dalam meningkatnya kualitas dan kapasitas lembaga-lembaga yang mengelola dana ZIS. Dengan tenaga muda terampil dan terdidik sebagai pengelola dana ZIS, disertai dengan pemanfaatan teknologi maka dapat meningkatkan kemampuan penggalangan maupun distribusi dana kepada para penerima. Belum lagi, belakangan ini pula, filantropi juga dikembangkan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility. Dimana perusahaan itu tidak hanya bertanggung jawab pada pemegang saham perusahaan saja atau shareholder tetapi bertanggungjawab juga pada masyarakat sekelilingnya.
Aktifitas filantropi ini secara perlahan namun pasti mulai menemui momentumnya untuk bergerak menuju filantropi yang berkeadilan sosial. Yang dimaksud dengan keadilan sosial disini adalah pemberian sumbangan kepada organisasi-organisasi non profit yang bekerja untuk melakukan perubahan-perubahan struktural meningkatkan peluang bagi semua orang, terutama bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial dan politik (Brenda Hanzl dan John Hunsaker, Understanding Social Justice Philanthropy).
Ke depan, seluruh aktivitas filantropi Islam harus lebih diarahkan kepada pengarusutamaan filantropi untuk pemberdayaan komunitas yang integral dan berkelanjutan dalam rangka upaya pengentasan kemiskinan. Filantropi untuk karitas seyogyanya mulai dikurangi porsinya, walau sama sekali tidak bisa ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena manfaat yang dihasilkannya jauh lebih besar dan berorientasi jangka panjang. Istilahnya Filantropi Islam harus memberikan kail dan bukan ikannya.
Sebagai modal dasar mencapai keadilan sosial, maka lembaga-lembaga filantropi harus memiliki citra dan positioning yang tepat dan dapat dipertangungjwabkan kredibilitasnya. Untuk itu diperlukan beberapa langkah sebagai berikut:
Pertama, perlunya membangun community Awareness  melalui berbagai media komunikasi dengan memberikan beberapa contoh best practice filantropy yang telah mengubah kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat dari kondisi yang memprihatinkan kearah yang hidup lebih baik. Cara ini dipandang cukup efektif dalam mengugah dan menyadarkan masyarakat yang memiliki kemampuan untuk berderma.
Kedua, membangun citra lembaga melalui peningkatan sumber daya manusia dan pengelolaan dana yang dapat dipertanggunjawaban, transparan dan accountable serta dana filantropi berdaya guna bagi penerima manfaat (beneficiaries). Masyarakat yang sudah berderma akan merasa puas dan berkesan bahwa niat untuk membantu masyarakat yang kurang beruntung sudah tercapai. 
Ketiga, membangun Konsistensi sebagai lembaga yang indenpenden, objektif dan netralitas serta profesional dalam menjalankan program-programnya. Biasanya si penderma atau masyarakat akan melihat lembaga konsistensi dalam menjalankan visi dan misi, lembaga dianggap opportunies akan ditingalkan.
Untuk merealisasikan seluruh agenda Filantropi untuk keadilan sosial di atas maka perlu diambil langkah-langkah strategis, diantaranya:
Pertama, menyatukan dan memantapkan persepsi, visi, misi dan model pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan berkelanjutan di antara stakeholder filantropi seperti pengurus LAZ/BAZ dan CSR yang sudah memiliki kegiatan pemberdayaan.
Kedua, meningkatkan wawasan dan skill para pengurus LAZ/BAZ dan CSR dalam menjalankan program pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Ketiga, membangun kemitraan antara LAZ/BAZ dan CSR dalam rangka menjalankan program bersama pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Keempat, mentransfer model pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan berkelanjutan kepada LAZ/BAZ dan CSR yang belum memiliki kegiatan pemberdayaan.
Jika beberapa point diatas dapat direalisasikan dengan baik, diyakini betul peran strategis filantropi Islam melalui pemberdayaan komunitas akan berjalan dengan baik dan menghasilkan manfaat yang berlipat ganda bagi masyarakat. Akhirnya kemiskinan dan keterpurukan akan mulai meninggalkan kita menuju kesejahteraan dan kemakmuran. Amien.

---the end---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar